Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

Kesehatan

2 Tahun Pandemi, Bali Terancam Tsunami Bunuh Diri

Kasus Meroket Nyaris 100% di 2020-2021

BENCANA KEMANUSIAAN: Ilustrasi kasus bunuh diri. 

 

DENPASAR, Balipolitika.com– Angka kasus bunuh diri di Bali melambung tinggi. Naik nyaris 100 persen dari 68 kasus di tahun 2020 menjadi 125 kasus di tahun 2021. Dari 47 orang laki-laki dan 21 wanita pada tahun 2020 menjadi 92 laki-laki dan 33 perempuan yang bunuh diri pada 2021. Kabupaten Karangasem dan Kota Denpasar menjadi penyumbang kasus terbanyak dengan masing-masing 27 dan 22 angka kematian bunuh diri.

Melihat angka kasus bunuh diri tahun 2021 yang mencapai 125 orang, dokter spesialis kejiwaan, dr. Cokorda Bagus Jaya Lesmana, Sp.KJ menyatakan keadaan tersebut tidak bisa dibiarkan begitu saja. “Boleh dikatakan masyarakat Bali sudah dalam keadaan sakit. Perlu langkah cepat untuk menyelamatkan calon-calon korban baru. Masalah bunuh diri adalah masalah kompleks. Semua komponen terkait perlu dilibatkan. Pemerintah harus menaruh perhatian khusus dengan memprogramkan hal ini di dalam kinerjanya, bukan hanya menekankan pada masalah ekonomi, tetapi ketahanan kesehatan mental perlu menjadi perhatian untuk menguatkan masyarakat tidak mengambil tindakan mengakhiri hidup,” ucap dokter spesialis yang praktik di RSU Manuaba itu.

dr. Cokorda Bagus juga menilai perlu ada layanan gawat darurat berupa hotline servis untuk mereka yang mencoba bunuh diri. Termasuk tanggungan BPJS atau asuransi lain bagi mereka yang selamat atau gagal bunuh diri agar mendapatkan bantuan layanan kesehatan mental secara cuma-cuma. Imbuhnya, semua jajaran pemerintah yang terkait, lembaga swadaya masyarakat (LSM), pemuka masyarakat dan masyarakatnya sendiri harus dilibatkan dan diajak bekerja sama. Sebab penanganan dan penyelesaian kasus bunuh diri memerlukan pendekatan holistik, pendekatan biopsikospirit sosiobudaya. Pendekatan yang memandang manusia tidak hanya terdiri dari fisik dan mental saja, tetapi juga terdiri atas spirit dan dipengaruhi oleh sosio budaya yang membesarkannya serta kebesaran Tuhan.

“Penerangan dan pembinaan pada masyarakat yang dilakukan oleh psikiater, psikolog, sosiolog, agamawan, pendidik, seniman, media cetak dan elektronika sangat besar peranannya untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya menumbuhkan keberanian menghadapi kehidupan ini. Pembinaan mulai dari diri sendiri dan keluarga. Kalau diri dan keluarga memahami keadaan dirinya, maka mereka akan sempat membantu orang lain sehingga masyarakat berada dalam keadaan tenang, sanggup menghadapi tantangan hidup, berjuang untuk hidup dan percaya bahwa Tuhan akan selalu membantu orang yang terus berusaha,” terang dr. Cokorda Bagus.

Terkait lonjakan kasus bunuh diri yang sangat mencolok di tahun 2020-2021, dr. Cokorda Bagus mengingatkan semua pihak tentang ancaman tsunami bunuh diri di tahun 2022. Selain karena pandemi Covid-19 yang berkepanjangan, pengalaman memilukan tragedi Bom Bali 1, 12 Oktober 2002 juga wajib dijadikan acuan. Ujarnya, dari pengalaman waktu Bom Bali pertama, setelah 2 tahun, terjadi ledakan kasus bunuh diri hingga tembus di angka 180. “Nah yang kami khawatirkan saat pandemi berakhir akan terjadi ledakan yang luar biasa apabila tidak dikuatkan dan disiapkan masyarakat kita,” bebernya.

Bahkan pandemi dinilai akan menghadirkan gelombang tsunami bunuh diri yang lebih dahsyat setelah 2 tahun masyarakat diliputi suasana yang penuh ketidakpastian. “Pandemi tentu akan lebih dahsyat karena sudah 2 tahun masyarakat berada dalam ketidakpastian. Bom Bali Pertama selesai dalam waktu singkat, tapi pemulihan ekonomi hampir 2 tahun membuat banyak orang tidak kuat menghadapi tekanan. Jadi bisa dibayangkan efek pandemi ini akan sangat jauh lebih berat karena sudah 2 tahun berjalan belum selesai. Belum ditambah sudah banyak anggota keluarga yang meninggal karena Covid-19,” ungkapnya mengingatkan.

Lebih lanjut, dr. Cokorda Bagus menambahkan pihaknya telah mencatat angka bunuh diri dari laporan media sejak 2006. Pihaknya juga melakukan penelitian menggunakan data dari tahun 2000-2005. “Perbandingan laporan media, catatan di polisi, dan laporan di masyarakat adalah menyerupai, jadi sejak nike kami dari Suryani Institute for Mental Health menggunakan laporan media sebagai dasar pencatatan,” ungkapnya. (bp)

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!