Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

Sosial

Taat SKB, Desa Sambangan Sepakat Tak Tutup Ashram

Punya Pecalang Adat, Tolak Ormas

TAAT SKB PHDI-MDA: Bendesa Adat Sambangan Ketut Sentana menerima kunjungan silaturahmi MKKBN, Selasa (25/5/2021) siang. 

 

BULELENG, BaliPolitika.Com- Bendesa Adat Sambangan secara sadar dan tanpa ada paksaaan mengaku tidak ada penutupan ashram di wilayah Desa Adat Sambangan, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng. Bahkan dengan tangan terbuka menerima rombongan Majelis Ketahanan Krama Bali Nusantara (MKKBN), Selasa (25/5/2021) siang untuk diajak bermusyawarah mencari kesepakatan dan menyamaan persepsi tentang keabsahan Surat Keputusan Bersama (SKB) Majelis Desa Adat (MDA) Bali dan Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali. “Sesuai kesepatan tidak ada penutupan ashram dan sesuai SKB tersebut hanya dilaksanakan pembatasan,” ungkap Ketua MKKBN I Ketut Nurasa, SH., MH., didampingi Ketua Yayasan Sri Radha Vrindavan Candra, Dewa Anom.

Diketahui tempat belajar weda tersebut bukanlah ashram, namun hanya areal villa yang juga digunakan untuk kegiatan yayasan melakukan kegiatan sosial kemanusiaan. Di lokasi tersebut juga tinggal sejumlah siswa dan mahasiswa yang menjadi anak asuh yayasan alias dibiayai pendidikannya. “Jadi sudah ada kesepatan dengan bendesa dan ketua yayasan untuk membatasi kegiatan yayasan di villa tersebut dengan menjaga keamanan dan ketertiban desa adat,” tegas Nurasa.

Di sisi lain, Bendesa Adat Sambangan Ketut Sentana mengaku telah bertindak apa adanya. Sebagai pengayah desa adat, ia hanya menjalankan awig-awig sesuai dengan konsep Tri Hita Karana. “Pada intinya hanya ingin menjaga ketertiban dan keamanan di Desa Adat Sambangan. Jadi terkait polemik Sampradaya saya hanya sedikit mengikuti masalah kepercayaan ini. Tapi kami hanya menjalankan awig-awig sesuai kewenangan desa adat,” tandasnya.

Ditegaskan dasar keputusan MDA Bali tersebut, juga belum ada perintah dari Majelis Madya Kabupaten Buleleng dan Majelis Alit Kecamatan Sukasada sehingga terkait kepercayaan Sampradaya di wilayah desa adat dilakukan dengan humanis dan persuasif. “Karena ini kan juga warga dan umat kita sendiri. Jadi jangan kami diajak gontok-gontokan. Intinya jika ada kegiatan (Sampradaya, red) dilakukan pendekatan humanis dan persuasif serta kekeluargaan. Yang penting kita sudah melaksanakan koordinasi dan pendekatan di sini dan tidak ada kekeruhan di masyarakat.

Beber Sentana seraya mengakui Desa Adat Sambangan memang sempat jadi sorotan terkait kegiatan Ashram Sampradaya. “Tapi saya tegaskan di Sambangan tidak ada ashram dan hanya ada villa di sana. Kami juga punya pecalang, struktur desa, adat, Linmas dan Babimsa dan tidak ada unsur penutupan sampai ada keputusan Bhisama dan Parisadha, karena itu memang menjadi ranahnya,” sebutnya.

Bahkan, pihaknya dengan tegas menolak jika ada pihak luar ataupun Ormas yang mengatasnamakan apapun yang datang untuk menutup kegiatan yang disorot sebagai ashram. “Saya hanya sebatas menjaga wilayah desa adat, sesuai dengan awig-awig dan saya tidak mau ditekan oleh siapapun. Karena kalau sekarang kita gontok-gontokan bagaimana dengan generasi kita ke depan. Makanya kita pendekatan secara kekeluargaan dengan pihak pemilik villa. Kita tidak mau ada kekeruhan di desa adat dan biar kita tetap hubungannya harmonis dan humanis. Apalagi selama ini tidak pernah ada para bhakta (penyembah Sampradaya, red) yang mengganggu,” tutup Sentana dengan tegas. Seperti diketahui belum lama ini, memang sempat ada kabar beredar di media sosial (medsos) keberadaan villa yang dituding sebagai ashram ini, didatangani oleh oknum yang mengatasnamakan ormas tertentu. Kedatangan oknum ormas ini dinilai mengganggu kenyamanan dan ketentraman di Desa Adat Sambangan. (tim/bp)

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!