Ilustrasi: Gede Gunada
KETIKA RAFLESIA ARNOLDI
Meski jagat raya kau mekarkan, harum dan aroma pada putik-putik bungamu
tak pernah mengungkap keangkuhan
Raflesia Arnoldi,
seperti putaran waktu
kau pun berdiri
di antara sembilan
curahan air di ketinggian curug yang membangun cita-cita
Kucari-cari kesemerbakan
tubuhmu, tapi bias dalam waktu. Karena hitungan waktu yang mencengangkan
dunia, kaulah Raflesia Arnoldi
Pada sebujur bangkai
di antaramu,
kau cium kebusukan hati
para pendengki,
namun harummu selalu membuka pola pikir
sebab akibat dalam sejumlah catatan
Maka sepotong kelopak
yang diucap dari mulut
ke mulut, pecah ke mancanegara
Lalu,
bunga Raflesia Arnoldi
yang manja di perbukitan,
memancarkan bau
dengan sejumlah doa
bagi para pelancong
hingga Bengkulu mencatat
kisah bagi kata-kata
penuh diksi
Bengkulu, 24 September 2022
DI PUNCAK BUKIT KABA
Membumbunglah pikiran
tatkala ketinggian itu
menjadi tiang pancang
bagi Bukit Kaba
Aku dan keinginan
adalah sayap-sayap bidadari
yang berkepak mencari marwah di atas ketinggian cita-citaku
Lalu pelukan alam
menyatakan rindu
kepada-Mu. Karena sejumlah catatan yang menjadi kalimat dalam diksiku, bermuara
ke kantong-kantong pengabdian
Bilakah pesona Bukit Kaba
yang menyimpan magma
hijau di mulut gunung berapimu, menjadi kata-kata seindah bukitmu
Maka,
sudah kutumpahkan
segala keabadian itu
melalui sajak dan sejumlah puisi, yang menemani pokok pikiran sebelum ada menjadi ada
Sebab kaidah pikiran itu
yang kau sajikan sebagai jeram dalam dan jauh,
mengusung perbukitan
di atas kata-kata menyajikan makna
Bengkulu, 23 September 2022
DENDAM TAK SUDAH
Kata-kata itu
lama terbaring mati di sini
tak berdaya di antara gugusan air dan lumpur hitam di tanah pemakaman
Ia pun berkisah sebagai buaya buntung di kubangan air danau dendam tak sudah
Tak perlu takut
karena dendam hanyalah kata-kata yang tak berkesudahan dalam bayang-bayang cermin kamarmu, kata dia
Buaya asal Lampung pun tumbang dalam sumpah serapah di antara diksi sajak itu
Maka kata-kata tak pernah bosan mengantarkan diksi
di antara makna dan keindahan wajahmu
ke dalam baris-baris puisi
Dendam tak sudah!
Begitu arti dan pokok pikiran setelah hari-hari berlalu
di dalam percik air dam
yang tak sudah dibangun penjajah Belanda
Namun belum selesai air dan tanah hitam mengubur kisahnya, hati pengunjung
dibawa kabur ke dalam catatan kisah antara dendam tak dendam
Bengkulu, 23 September 2022
SEPOTONG RUMAH KEBAYA
panjang jejakmu dalam tradisi. lalu ia pun campur aduk sebagai adab dan adat, Jakartaku
seperti senja
cahaya matahari menepi
di atap rumah Betawi
karena lantai tegel dan dinding kayu gudang
o Jakarta
sejak abad-abad lampau
ketika ujud dan wujud
masih mencair di ranah Batavia; orang-orang Tionghoa lebur ke dalam tradisimu selembut
rose merah
(terimalah rumah joglo limasan yang berdinding bapang; sebagai sepotong baju kebaya, katanya)
maka di benakmu
diatapi pelana terlipat
dengan teras lebar;
ruang kebiasaan keluarga
dan tamu-tamu merenungi
perilaku sejarah
maka laki-laki mengenakan
baju koko, kain pelekat, celana batik, dan kopiah. mereka mengeja tradisi
karena rumah Depok,
kaya tradisi pucuk rembung, swastika, dan cempaka
kepada siapa kebanggaan tradisi leluhur itu berkolaborasi atas nama cinta?
Bengkulu, 11 Agustus 2022
TARI COKEK BETAWI
inilah gerakan,
ketika tiap aksi dilontarkan
dari hitungan estetika
yang menggelar
langkah-langkah pencak silat bagi penari
Tari Cokek yang kau berikan;
memadukan bahasa gerak
tradisi Tionghoa, Arab, Sunda, dan Betawi pada pentas tarian
ilustrasi nada-nada yang ada
mengisi nilai gerakan
tatkala serangan itu
menyergap pesta adat
dari tiap langkah perlawanan
maka Tarian Cokek
yang bicara dalam hitungan
estetika,
memberi kabar pada ruang
tari dan nada bahasa gerak
secantik tradisimu, Betawi
maka pada potongan gerak
kau bicara dalam pesta adat
yang melewati catatan
adab Tionghoa, Sunda, dan Betawi
maka Tari Cokek
dan orang-orang Betawi orak
merangkai gerakan estetis,
di antara nada gerakan
yang mencintai hati nurani
maka ia pun menitip pesan
dalam gerakan silat yang gesit mencintai penari
di panggung-panggung pementasan
Bengkulu, 17 Agustus 2022
BIODATA
Merawati May, lahir di Mukomuko, 12 Mei 1978. Buku puisinya adalah Perjalananku (2016), Nasihat Ibu (2021), Kidung Hati Amreta (2022). Tulisan banyak tersebar di berbagai media masa baik daerah atau pun nasional, sering menjadi berbagai juri di berbagai perlombaan seni dan sastra.