Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

Pemerintahan

G-20 Genjot Transisi Energi Berbasis Fosil Menuju Ramah Lingkungan

AGENDA PADAT: Presidensi G20 Indonesia menjadi ajang tukar pikiran dari masalah tinggi muka air laut hingga ancaman krisis energi akibat perang Rusia-Ukraina yang terus berlanjut. 

 

JAKARTA, Balipolitika.com- Presidensi G20 Indonesia akan fokus pada 3 prioritas utama. Pertama, menata kembali arsitektur kesehatan dunia yang lebih inklusif dengan menjamin ketersediaan vaksin yang lebih merata dan sistem kesehatan yang tangguh dan inklusif.

Kedua, mendorong transformasi ekonomi berbasis digital untuk mendorong UMKM dan ketiga menciptakan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru.

Prioritas selanjutnya yakni mempercepat transisi energi yang lebih ramah lingkungan. Transisi energi bukan hanya harus adil antara kepentingan negara berkembang dan negara maju, tetapi juga harus terjangkau, baik dari sisi teknologi maupun pembiayaannya.

“Ketiga topik utama tersebut akan menjadi panduan bagi para Pemimpin Negara G20 untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan yang pro rakyat, konkret, dan dapat diimplementasikan. Di samping itu, Presiden RI Joko Widodo sudah menyampaikan arahan agar Presidensi G20 menghasilkan proyek dan kerja sama ekonomi yang implementatif sehingga dapat mendukung pemulihan ekonomi global,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Senin, 27 Juni 2022.

Menyoal transisi energi, Menko Airlangga mengatakan bahwa Presidensi G20 Indonesia salah satunya digunakan untuk mengenalkan skenario Indonesia dalam mencapai Net Zero Emission di tahun 2060.

Negara anggota G20 juga harus berfokus pada sumber pendanaan untuk investasi pada transisi energi ke energi terbarukan.

“Ada semacam model yang sedang dibahas dengan ADB dan lembaga keuangan lain, yakni model yang akan optimal secara ekonomi untuk mempercepat transisi, terutama energi yang berbasis fosil, khususnya PLTU,” tutur Menko Airlangga.

Dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya krisis energi akibat perang antara Rusia dan Ukraina, setiap negara termasuk di Eropa mengutamakan energy security, karena mereka akan mengalami musim dingin sehingga membutuhkan diversifikasi suplai energi dari Rusia, misalnya dalam bentuk LNG dan batu bara.

“Dalam jangka menengah, energi terbarukan tetap penting. Indonesia tetap mendorongnya dengan berbagai kegiatan. Pemerintah juga akan memberikan insentif seperti insentif fiskal, sehingga proses transisi menuju energi terbarukan akan tercapai dalam waktu tak terlalu lama,” ucap Menko Airlangga.

Di sisi lain, dengan situasi seperti saat ini, dunia membutuhkan sumber pertumbuhan baru, dan salah satu yang paling memungkinkan adalah melalui digitalisasi yang akan makin pesat pasca pandemi Covid-19 ini.

Wilayah ASEAN memiliki potensi digitalisasi yang besar dan akan mampu mengakselerasi pertumbuhan ekonomi di tingkat regional.

Indonesia sendiri mempunyai program inklusi keuangan yang antara lain mencakup digital financing melalui beragam produk fintech, serta program peningkatan skill masyarakat dengan pelatihan online melalui Kartu Prakerja, yang diharapkan bisa direplikasi oleh negara-negara lainnya di masa depan.

Menko Airlangga juga mengatakan hal yang bisa dicontoh negara lain dari Indonesia yakni reformasi struktural dalam peraturan perundang-undangan.

Pemerintah bersama DPR telah meluncurkan UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2020, sehingga kebijakan dan langkah-langkah yang bersifat luar biasa di bidang keuangan negara bisa dilakukan dengan cepat.

Kemudian, UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Menurut World Bank, UU Cipta Kerja merupakan upaya reformasi besar yang menjadikan Indonesia lebih kompetitif, serta dapat meningkatkan kualitas SDM, melanjutkan akselerasi pembangunan infrastruktur fisik dan digital, juga pembentukan Sovereign Wealth Fund (SWF).

Selanjutnya, UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang di dalamnya juga mengandung unsur green economy, antara lain tentang pajak karbon yang akan diterapkan pada pertengahan tahun ini.

“Jadi Indonesia punya resiliensi lebih dan fleksibilitas untuk merespon risiko ketidakpastian yang muncul di pasar global,” ucap Menko Airlangga.

Sebagai Presidensi G20 tahun 2022 ini, Indonesia tentunya berusaha menyeimbangkan beragam kepentingan dari seluruh anggota G20, baik negara maju maupun negara berkembang.

Hal tersebut berlaku dalam pembahasan banyak agenda Sherpa maupun Finance Track, termasuk isu kesehatan, energi, lingkungan, perubahan iklim, dan pembangunan berkelanjutan.

Indonesia juga harus mengedepankan representasi yang setara. Hal ini dilakukan dengan mengundang perwakilan negara berkembang dan negara-negara yang terdampak dari isu global, misalnya negara di kawasan Pasifik sebagai yang paling merasakan dampak dari kenaikan tinggi air laut.

Komunikasi rutin yang baik juga sudah dibangun dengan semua Sherpa di G20.

Hal ini penting untuk menjaga kepercayaan global terhadap kepemimpinan Indonesia dalam G20. (bp)

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!