Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

PuisiSastra

Puisi-Puisi Nichita Stãnescu

(Diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Phalayasa Sukmakarsa)

Ilustrasi: Wayan Jengki Sunarta

 

(Kawan-kawan pencinta sastra, mengawali bulan Agustus ini, redaktur sastra “Bali Politika” merasa beruntung dan bersyukur mendapat kiriman terjemahan puisi penyair Romania, Nichita Stãnescu. Puisi-puisi yang penuh metafora unik dan cenderung surealis ini diterjemahkan oleh Phalayasa Sukmakarsa dari bahasa Inggris. Selamat menikmati terjemahan puisi-puisi bergizi ini.)

 

JAM ALUN-ALUN BERHIAS PATUNG 

Batu-batu membuka sebongkah mata bebatuan
Tulang-tulang membuka sebentuk mata kerangka
Setiap anjing memiliki moncong di tempat mata mereka, dan menghamburkan salak
dari ketiga moncong itu, dengan murah hati.
Ini perubahan tanpa henti mata-mata di udara
Mata kucing-kucing menjelma daun.
Daun-dedaunan yang membisikkan keluh manis
ke lubang mata para induk kucing.
Mataku kokoh menatap hingga kabur basah.
Di menara gedung pemerintahan ia berkerjap,
dan tiba-tiba dalam lubangnya kurasakan,
dengan bayi dalam gendongan, patung-patung Bunda Maria.

 

SIMPUL 19

Camkan kalau aku dapat membunuh
kalau bisa kutindas dengan tumit kaki kepala manis
bintang terbit penuh kedamaian,
karena itulah aku lalu berpaling mengecat rumah-rumah!

Camkan kalau aku tak pernah mengasihani diri
kalau kucampur darahku dengan pohon-pohon betula!
Kuingatkan kau akan hal ini melalui pos cepat!
Jaga langkahmu!

 

TENTANG PERGULATAN

Seolah mata pisau yang teramat tajam
telah memisahkan awan-gemawanku dari puncak gunung
tubuh besar tak terkiraku menghumbalang jatuh terpenggal.
meninggalkan kepalanya terburu sendiri di langit.

Ia tak dapat mati walau ia tak lagi tahu
apa makna hidupnya, di masa yang telah lewat.
Matanya di atas menyaksikan
tubuhnya di bawah, pergulatannya—
Dari kerongkongan yang terbuka
menyembur keluar kawanan burung-burung hijau penuh kicau—
Tangan menghujamkan cengkeram
ke bayang tak nyata—
Mata, terambang di langit, menyaksikan
pergulatan penuh kemelut itu.

Kapal dagingku, terjebak badai,
tak mengenal karam—
Tolong aku katedral elok
yang kulihat di kota lain—
Kekacau-balauan ini
dentangilah dengan lonceng-loncengmu.
Kuminta padamu katedral elok.
kau, di kota lain,
beri indahnya sunyi
mengaliri diriku—
Tubuh ini taklah beda
dengan badan sungai
yang tiba-tiba diputus
deltanya yang bersuara.
Semoga burung-burung merah terbang
melintasimu, katedral yang elok—
mereka menjulang di angkasa, melolong dan menggaok,
menyerukan kekeh leher putus—

Terimalah mereka, katedral elok
di lidah lonceng-loncengmu, terima mereka—
Tolong aku, katedral elok
yang kulihat di kota lain—
Beri diriku sunyi, katedral elok,
dan cara mati yang lain.

 

LAGU CINTA SEDIH

Hanya hidupku yang akan mati buatku, sesungguhnya,
kadang-kadang.
Hanya rumput yang mengetahui rasa bumi.
Sesungguhnya, hanya darahku yang merindu
jantungku saat ia pergi.
Udara tak terjangkau, kau tak terjangkau,
rasa sedihku tak terjangkau.
Ada saat ketika kuda-kuda mati.
Ada saat ketika mesin-mesin jadi tua,
dan semua perempuan mengusangkan pikiranmu—
dan pakaian yang kau kenakan.
Ada juga seekor burung besar berwarna putih
yang menelurkan bulan di langit.

 

RELIEF DATAR BERISI PAHLAWAN 

Serdadu-serdadu muda itu telah menduduki jendela,
tepat seperti saat mereka ditemukan, dengan luka tembak di dahi—
untuk dipajang, mereka ditempatkan di kaca toko,
sebagaimana wujud terakhir mereka,
badan, lengan, lutut, wujud-wujud mereka yang paling akhir,
saat mereka menerima tembakan, tanpa tahu, di dahi
atau di antara belikat dengan cercah
yang lebih halus dari jari seorang anak yang menunjuk bulan.

Di belakang mereka berdiri barak kosong,
dengan bau pembebat kaki, puntung terinjak, sebuah jendela tertutup.
Gagang-gagang besi terus menderak
di koper-koper kayu kecil yang mengisi barak,
sebagaimana pegangan besi bulan masih berderak
hari ini, sebelum dibuka untuk menemukan surat-surat tua,
foto-foto tua sang waktu.

Serdadu-serdadu muda itu terus ada, berpoles semir,
wajah dan lengan mereka, agar mengkilap,
dipoles semir agar mengkilap, dipoles semir
dan didudukkan tepat seperti ketika
hidup lolos dan kematian menerkam waktu.
Mereka terus begitu, diam dan mengkilap selamanya,
dan kita memandang mereka seperti kita memandang rembulan
yang terbit di tengah alun-alun kota.

Bagi kita, yang kini berusia sama dengan mereka,
walau mereka memanjang waktu di jendela,
bagi kita yang melihat dan memintasi mereka,
dengan jantung berdetak, dengan ingatan,
ingatan-ingatan segar, jauh teramat segar,
serdadu-serdadu muda itu telah menduduki jendela
dan memimikkan sosok mereka sendiri, satu semuanya,
seolah mereka masih memiliki hidup.

 

NIRKATA

Ia ulurkan daun serupa tangan berjari.
Kuulurkan tangan serupa daun bergerigi.
Ia ulurkan ranting serupa lengan.
Kuulurkan lengan serupa ranting.
Ia condongkan batangnya ke arahku
bagai pundak.
Kucondongkan pundakku padanya
bagai batang bermata.
Bisa kudengar getahnya menderas, mendegup
bagai darah.
Dapat didengarnya darahku mengencer bak getah yang keluar.
Kulintasi dirinya.
Dilintasinya diriku.
Aku tetap pohon sendiri.
Ia
laki-laki sebatang diri.

 

KISAH SENTIMENTIL

Kita lalu bertemu lebih sering
aku berdiri di sisi waktu yang satu
sementara kau di sisi lainnya,
bagai sepasang telinga guci Yunani kuno.
Cuma kata-kata yang terbang di antara kita,
mengulang-alik.
Hampir bisa kau tangkap liuk mereka,
dan tiba-tiba,
aku akan menurunkan satu lutut,
dan menjatuhkan sikuku ke tanah
untuk melihat rumput, yang terkulai
oleh hempas entah kata yang mana,
seolah terpijak tapak singa terburu.
Kata-kata mengisar di antara kita,
mengulang-alik,
dan semakin dalam rasa ini, semakin
mereka memusar, pusingan ini seolah menjadi,
sebentuk rangka bagi sesuatu yang nyata, sebuah awal bagi segalanya.

 

===============================

BIODATA 

Nichita Stănescu adalah penyair dan esais berkebangsaan Romania. Lahir 31 Maret 1933 di Ploieşti, dan meninggal 13 Desember 1983 di Bukares. Dia dipandang sebagai salah satu penyair paling terkemuka generasinya.

Phalayasa Sukmakarsa adalah penulis, penerjemah, dan fotografer. Puisi dan cerpen terjemahannya pernah dimuat di Jurnal Seni Sundih dan beberapa media lainnya.

Wayan Jengki Sunarta adalah seorang sastrawan yang gemar melukis. Pameran seni rupa yang pernah diikutinya, antara lain pameran SahabART di Rumah Seni Paros, Sukawati, Gianyar, Bali (2020), Silang Sengkarut di Dalam Rumah Art Station, Denpasar (2022), Rajah Rasa di Teba Kangin Pemanis Art Space, Tabanan, Bali (2022).

Berita Terkait

Back to top button

Konten dilindungi!