Ilustrasi: Handy Saputra
SEBELUM PETANG
Bagi yang pergi atau pulang sebelum petang
pintu terdekat akan menjawab dengan deritnya
meski perih berlimpah di dada
pergi dan pulang serupa kedua tangan
saling membutuhkan dalam genggam sederhana
Semua selalu mengatasnamakan kebahagiaan
padahal gambar dan kenyataan selalu berbeda
lalu akan memberi nama pada janji
melalui petang yang mulai rebah mengantuk
yang pergi selurus garis wasilah
yang pulang melepas wangi ruap melati
tafakur sebelum memilih kehilangan.
Parepare, 2022
DONGENG PAGI
Aku kenang pagi yang lembap, tak ada gesek daun
mengingatmu punai kelabu bertengger di ranting awan
memenuhi pandang selingkaran kelopak mata ingatan
Ingin kubawa cahaya yang masih tertidur
tengkurap di sela-sela daun jendela
sedang aku masih utuh duduk menelan sunyi
Mungkin esok akan tiba dengan langkah-langkah gerimis
memecah kata di bebatuan halaman tanpa kepak burung
pagi seperti tak pernah menawarkan papar silau matamu.
Parepare, 2022
BENTENG FORT ROTTERDAM
Gerimis semakin redup lalu hening tumpah
angin menebarkan aroma rumput basah
kupu-kupu melintas dekat dinding bastion Bone
serupa kehadiran tamu terkabarkan menemukan waktu
langit masih berwajah mendung berlapis kisah
bersama kisah menelusuri jejak kebesaran Gowa-Tallo
Datanglah penyambutan rindu sambil merayakan senja
hening bersilang rupa yang dibawa kupu-kupu
beradu kisah benteng Fort Rotterdam dan sejarah berkarat
lupa tergambar saat pulang berlayar membawa rempah
bahkan masa lalu kian memudar serupa ditinggal kenangan
senja pun berwajah pelangi berbayang cahaya Mangkasarra
Di benteng Fort Rotterdam kami coba memetik kecapi
menyanyikan dongeng yang tertulis di dinding benteng
mengalun serupa berlayar ke negeri timur
kegagahan yang meredup merampas masa lalu benteng
tersisa mosaik kerumunan orang sekarat
merapuh sihir kedigdayaan dengan perang berkobar-kobar.
Makassar, 2022
TAMBI
Pagi terluka cahayanya
hari berburu waktu bertunas kehidupan
nafas dari pori-pori tanah, menghilir
sampai lembah berwarna daun teh
mungkin hendak menuju Jumprit
bahkan kembali menjemputmu di Ngadirejo
menuntun sisa kerinduan masa lalu
Sungguh, tanah-tanah ini tak pernah tidur SAI BUMI SER
seperti kisah tua embun-embun berproses
berabjad para leluhur
tersisa juntaian batang pinus
nafasku menjadi batu padas berlumut
bulir embunnya menjadi kupu-kupu
terbang melintasi lembah Sindoro
membuat garis di udara dari rumbai-rumbai
di seluasan kehijauan pohon teh
Jalanan setapak seperti mengalirkan takdir
semuanya bersemah tumbuh segaris tarikh waktu
serupa aroma teh yang abadi
mengurai angin di celah cahaya pagi
mengisi ruang yang hilang di separuh tubuhku
aku tertidur di kesenyapan Tambi
lembah Sindoro yang menawarkan puisi.
Pbg-Parepare, 2022
SENJA DI KLEDUNG
Lindap bayang gelisah lenyap di ujung senja
diam-diam kesunyian memeluk embun
adalah jalan takdir kehendak waktu
menyusupkan isyarat pada kesendirian
Setelah melafalkan ayat-ayat yang panjang
hari-hari terlewati menggetarkan rumbai embun
percakapan tersisa di sudut cafe Kaki Bumi
beberapa ingatan melarut pada segelas kopi
menunggu rindu yang menyeberang dari kebun teh
melalui undak-undakan waktu berkabut
Sepertinya tanah Kledung tak mampu menuntaskan
kedatanganmu sebelum malam menjelang
ataukah kesabaran akan memisahkan malam
dari senja pada hamparan yang kusebut gigil
Di Kledung malam mulai merayap
serupa laba-laba meniti sarang di sudut dinding
lalu sunyi akan menjadi lelaki yang lelap
melupakan bau aroma teh yang raib
didekap kehangatan Sindoro Sumbing.
Pbg-Parepare, 2022
PENGANTIN
Hari ini aku ingin jadi pengantin wayang
tuntas berkain lurik iringan suara gendang
memasukan suara gending ke dalam ingatan
menatap hatimu beku di layar dekat gunungan
meloncat ke langit mata sinden dan nayaga
dengan restu malam yang masih terjaga
Aku berjalan di tangan cerita ki dalang
memanggil bianglala menabur kembang
keinginan memberi berkat
pada babakan bersalin hayat
dengan kuda-kuda berderapan
memikat maha dewi untuk berhadapan
Suara serak ki dalang memanggil gara-gara
malam cemas di puncaknya ditempa kembara
aku pengantin berselubung malam yang tebal
maha dewi belum diberi waktu untuk kenal
sedih berlimpah pada cinta paling meragukan
di tengah laron-laron sekarat cahaya dimatikan
gendang terdekat menjawab dengan getar
pengantin di layar hanya tergambar samar.
Parepare, 2022
==================
Biodata
Tri Astoto Kodarie, lahir di Jakarta, 29 Maret, besar di Purbalingga, sekolah di Yogya dan menetap di Parepare, Sulawesi Selatan. Buku puisi yang telah terbit: Nyanyian Ibunda (Artist, 1992) Sukma Yang Berlayar (KSA, 1995), Hujan Meminang Badai (Akar Indonesia Yogyakarta, 2007), Merajut Waktu Menuai Harapan (Frame Publishing Yogyakarta, 2008), Sekumpulan Pantun,: Aku, Kau dan Rembulan (De La Macca, Makassar 2015), Merangkai Kata Menjadi Api (Akar Indonesia Yogyakarta, 2017), Kitab Laut (YBUM Publishing Parepare, 2018), Tarian Pembawa Angin (YBUM Publishing Parepare, 2020) Tembang Nelayan Dini Hari (Satria Publisher Banyumas, 2021), Tak Ada Kabar Dari Kotamu (Satria Publisher Banyumas, 2021) serta puluhan antologi puisi bersama di berbagai kota. Kini tinggal di Parepare, Sulawesi Selatan.
Handy Saputra, lahir di Denpasar, 21 Februari 1963. Pameran tunggal pertamanya bertajuk The Audacity of Silent Brushes di Rumah Sanur, Denpasar (2020). Pameran bersama yang pernah diikutinya, antara lain Di Bawah Langit Kita Bersaudara, Wuhan Jiayou! di Sudakara Artspace, Sanur (2020), Move On di Bidadari Artspace, Ubud (2020), pameran di Devto Studio (2021), pameran Argya Citra di Gourmet Garage (2021). Instagram: @handybali.