Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

RESENSI BUKU

Menggali Akar “Silsilah Keramat”

Oleh: Emi Suy

Ilustrasi Sampul: Ratih Alsaira

 

Judul: Silsilah Keramat
Penulis: Umi Kulsum
Cetakan: I, November 2022
Penerbit: Interlude, Yogyakarta
Tebal: viii+ 94 halaman (91 judulpuisi)
Tata Letak: Omah Djanur
Design Sampul: Mangun_art

 

Membaca buku kumpulan puisi Silsilah Keramat karya Umi Kulsum ini saya seperti diajak untuk menggali akar kedalaman pohon silsilah keramat milik penyair di tanah masa lalunya. Saya membayangkan diri saya sendiri sebagai si penyair yang bernostalgia dengan masa lalu itu. Saya mencoba menuliskan beberapa pembacaan saya atas puisi-puisi Umi Kulsum di dalam buku tersebut yang menurut saya sangat enak dibaca dan menarik untuk diulas tipis-tipis. Diawali dengan puisi yang berjudul Payung di Rumah Tabon.

Masih tersimpan rapi/di ruang besar rumahtabonitu/meski kakek-nenek sudah lama pergi/meninggalkan semesta ini

Puisi tersebut dibuka dengan cerita tentang benda peninggalan kakek nenekberupa payung. Kata ibu belajar jadi payung adalah petuah agung/yang turun-tumurun dari para leluhur/ artinya benda sederhana itu memiliki makna lain sehingga ia bernilai dan perlu disimpan bahkan hingga turun tumurun ke anak cucu. Mungkin makna spiritual, mungkin makna mitis, entahlah. Si penulis ingin mengatakan bahwa dengan payung itu ia tak hanya berlindung dari panas, dari hujan, namun juga berlindung dari tatapanmu yang menakjubkan, dari hal yang tampak dan yang tidak tampak, payung sebagai sebuah benda pusaka yang dapat melindungi pemilik atau pewarisnya. Payung itu juga menandai ketika akan ada pesta atau belasungkawa seolah-olah benda itu memang ajaib, benar-benar keramat, sehingga dapat memberi isyarat akan sesuatu, yaitu ketika akan diadakannya pesta atau ada peristiwa kematian. Seperti tampak pada baris terakhir sajak itu; Biarkan ia tetap tegak di tempatnya/sambil sesekali memberi isyarat/ketika akan ada pesta atau belasungkawa.

Saya kemudian beralih ke puisi lain yang berjudul Mata dan Keris yang menceritakan peristiwa masa kecil tentang keanehan keris yang bisa tegak berdiri dan keluar dari kerangka keris dengan sendirinya, lalu ia tebang dan sirna, entah ke mana, tak jelas. Apakah ia mencari tempat singgah atau kembali ke asalnya, si penulis pun tak pernah tahu hingga ia dewasa.

Mata ini menjadi penonton setia/ketika layar masa kecil terbuka di depanku/di kamar berdinding kayu tua/dan kaso-kaso berjajar di atasnya/mata ini disadap peti yang tak henti gemelodak//Tiba-tiba, keris di atasnya berdiri/bergerak-gerak seperti jasad yang gemetar/“Mau keluar?” suara bibi/aku ternganga ketika sang keris keluar dari warangka/seperti puisi yang terlepas dari baitnya/seperti bintang yang terlepas dari langitnya//

Tidak kalah ajaib dari payung peninggalan kakek neneknya, benda bernama keris yang digambarkan di sajak tersebut juga aneh dan gaib. Keris itu bisa keluar sendiri dari petinya, bisa lepas sendiri dari warangkanya, kemudian berdiri di udara, melayang seperti jasad yang gemetar, dan bisa bicara dengan manusia, yang digambarkan di sajak itu sebagaibibi’. Mungkin penulis memang dilahirkan di lingkungan Jawa yang diliputi dengan hal-hal mistis, sehingga banyak sajak-sajak yang tertulis diwarnai dengan cerita-cerita pengalaman ajaib, tapi semua itu terjadi ketika penulis masih kanak-kanak. Seperti keris yang dilihatnya dulu, yang terbang mencari pintu, terbang, ya, terbang/meninggalkan ruang meninggalkan rumah/meninggalkan pekarangan meninggalkan semua/mencari tempat singgah atau pulang kepada asal.

Umi Kulsum agaknya tidak hanya menulis tentang benda-benda keramat, nuansa masa kanak di rumah tua, tetapi juga kritik sosial, kota, dan aneka ragam kenangan yang turut membentuk silsilah dirinya dan puisi-puisinya. Puisi Rumah Tak Berjendela adalah salah satu contoh puisi yang menceritakan tentang nasib orang-orang yang kampungnya dijadikan tempat pembuangan sampah kota.

Itulah rumahku tak berjendela/hanya pintu utama saja/jika pagi hari kau suka cerita tentang harumnya bunga/suka bicara segarnya udara/di sini aku tak bisa/rumahku tak berjendela dan tidurku dikepung bau/sampah semata//Jangan suruh aku berkisah/tentang beningnya embun pagi, senam bersama/menghirup udara terbuka dan sejenisnya/aku tidak bisa, ya, aku tidak bisa/sebab di sekitarku gunung sampah/dari kota yang diangkut ke kampungku/dari sisa makanan, kayu, plastik/dan kasur-kasur busuk bekas hotel dan rumah sakit//

Jendela sebagai tempat untuk memandang keindahan telah hilang, seolah sampah dari kota telah menutup semuanya, kecuali pintu utama untuk keluar masuk rumah. Rumah yang dikelilingi bau sampah tidak sedap dan menyengat hidung itu telah kehilangan maknanya sebagai tempat paling nyaman untuk pulang. Kampung yang biasanya berudara segar, hijau, dan sejuk digambarkan dengan begitu gersang dan rusak. Sumur-sumur tak bermata air, bahkan kering, yang ada hanya genangan air mata tak berdaya. Sapi dan kambing tak kenal rumput, tak ada lapangan dengan rumput hijau, yang ada sampah plastik dan bekas botol air mineral yang dikunyahnya, dan di dada anak-anak, paru-paru tercemar asap limbah residu udara.

Pada sajak berjudul Di Kebun Jauh Rumah yang menceritakan sebuah rumah yang dikepung pohon jati dan rerumputan yang rimbun dan dijaga oleh seorang laki-laki bernama Pak Sumar, di rumah itu si aku lirik pernah disambut oleh keramahan senyuman Pak Sumar, aroma singkong, mangga dan jeruk santang yang segar. Ada maket rumah masa depan menghadap ke selatan, yang suatu hari nanti dibayangkan oleh si aku sebagai tempat untuk menikmati masa tua, dengan beribadah, menulis puisi sambil bertani, menunggu anak cucu yang datang setiap akhir pekan.

Pada sajak berjudul Berkabung, penulis menggambarkan sebuah suasana kehilangan yang dimetaforkan dengan apik, misalnya, usia tua dengan warna kuning daun, kematian dengan daun gugur; hari-hari semakin tua/seperti daun yang menguning warnanya. Bahwa tak ada kehidupan yang kekal di bawah matahari adalah sebuah kebenaran. Tapi bagaimana kehidupan itu kemudian dimaknai tentu tergantung masing-masing orang. Tuhan toh sudah memberikan banyak pelajaran melalui alam semesta ini. Kita memiliki nilai-nilai yang berbeda untuk tetap bertahan hidup, dan kadang untuk menemukan nilai eksistensi itu kita perlu menjadi seperti daun dalam puisi tersebut, mungkin daun bertanya/apakah arti keberadaaannya/seperti seperti perempuan yang tak pernah ada di hati kekasihnya/seperti perempuan yang kekasihnya hilang di kerumunan orang-orang. Mungkin sajak ini ingin menceritakan kondisi ketika seseorang kehilangan akibat pandemi covid 19, seorang perempuan yang kekasihnya tertular covid karena berkerumun, kemudian kekasihnya itu mati. Tetapi inti sajak ini terletak pada pertanyaan eksistensialnya yang universal, mengapa aku ada?

Puisi-puisi Umi Kulsum dekat dengan alam, dan ia sering menggunakan alam sebagai metafor untuk menceritakan perasaan nostalgianya. Hal itu tampak dalam beberapa sajak seperti; Di Dekat Tebing, Doa Akar, Rute Pohon, Monolog Siang Hari, Yang Tertulis, Rute yang Abstrak, dan lain-lain. Misalnya, puisi Di Dekat Tebing bercerita tentang sebuah pohon di tebing yang akarnya menjalar menghujam jauh ke bawah. Seakan terjadi sinergis antara pohon dan tebing yang saling menjaga satu sama lain. Bahkan sebuah pohon yang ranting dan dahannya menopang burung-burung yang berkicau. Pohon yang tetap hidup berdaun rimbun tak perduli akarnya terhimpit bebatuan, sebagai tempat persinggahan tupai dan belalang. Sebuah harmonisasi semesta.

Puisi berjudul Doa Akar. Sebuah puisi refleksi yang menggambarkan suasana di sebuah makam, ada sebuah pohon dan nisan yang tak tertera nama, meski begitu kuburan itu tidak hilang sebab sering diziarahi anak cucu. Selain si aku lirik ada akar yang berdoa selepas hujan senja meninggalkan jejaknya di tanah basah. Sesekali aku lirik (anaknya) mengunjungi makam ibunya itu. Di sana pohon lebih setia dengan akarnya yang bercabang menembus kedalaman. Pohon itu sebagai tanda di makam ibunya yang membuat silsilah tidak putus. Untuk kelak bisa membaca ibu sebagai pintu membuka waktu di luar waktu. Ibu yang sudah berbeda alam dengannya tetap bisa dikunjungi melalui kuburannya yang ditandai dengan pohon yang juga ikut mendoakan itu. Sebuah puisi yang syarat dengan kedalaman permenungan dan perenungan.

Pada sajak berjudul Rute Pohon. Sebuah judul yang menarik perhatian saya. Biasanya rute digunakan oleh manusia dalam menempuh jarak perjalanan ke sebuah tujuan, dengan melewati beberapa rute jalan. Namun kali ini Umi Kulsum menuliskan tentang rute pohon, meski demikian sebenarnya penyair tengah menggambarkan kota Yogya menggunakan metafor pohon. Sebuah puisi yang mengajak saya masuk ke lorong waktu saat si penulis masih remaja bermain cahaya. Aku lirik menggambarkan dirinya berada di antara sepasang pohon beringin tua– yang besar kalau zaman dahulu disebut pepunden, pohon yang dipercayai ada penunggunya. Pohon itu rimbun angker seperti sebuah kemarahan yang membisutapi teduhnya melebihi doa-doa, dan cahaya-cahaya yang menembus dari celah ranting pohon seperti doa-doa yang terkabul memancarkan sinar. Si aku lirik mencari yang terlihat dan yang kasat. Seperti menemukan sebuah lorong panjangjalan lurus ke arah utara dari laut luas hingga ke ketinggian gunung. Dan ia berada di sebuah alun-alun keheningan luasnya melebihi dari batas kota.

Pada puisi lain yang berjudul Monolog Siang Hari. Sebuah puisi yang menggambarkan percakapan dengan dirinya sendiri. Tentang sebuah perasaan cinta kepada seseorang. Ia ingin menjadi sesuatu yang sangat berharga dan berarti dalam hidup orang yang disayanginya. Bukan sesuatu yang tak bermakna apa-apa. Digambarkannya seperti udara pagi-pagi buta, menjadi candu yang dibutuhkan setiap waktu, menjadi sebatang kayu dengan lilitan akar yang kuat, bukan seperti buih-buih ombak atau seperti rambut tergerai diterpa angin. Si aku lirik ingin menjadi hujan yang menjaga keseimbangan hutan, subur, tetap lembab, dan daun-daun yang rindang menebarkan oksigen yang dihirup sang kekasih. Si aku lirik ingin menjadi penggerak di tubuh kekasih menuju jalan kebahagiaan yang sempurna — yang hakiki. Menjadikan gerak harmoni cinta yang semesta dan semestinya.

Pada puisi berjudul Yang Tertulis. Si penulis ingin menyatakan perasaan yang bukan sebatas kata-kata tentang keriuhan bising hari-hari yang melemparkan hujan dan pikiran ke sana ke mari. Namun, si penulis mengumpamakan bahwasannya sang kekasih adalah deretan kotak kosong teka teki silang yang harus ia isi, sehingga menjadi bermakna kehidupan ini. Meskipun ada percakapan yang belum selesai, perbincangan yang berjeda, dan kebersamaan yang tertunda. Sebuah perjalanan yang berseberangan, sesekali bertemu dan berkali-kali tak bertemu. Bahkan seringkali berbeda harapan.

Sedangkan dalam puisi Rute yang Abstrak. Penyair merefleksikan tentang rute dalam puisi. Puisi yang memiliki rute terang dan gelap, melewati pantai, bebukitan hutan jati hingga ke Merapi. Di sebuah pantai Depok, langit yang bercermin pada laut, ombaknya membiru, sebuah cinta yang kuat seperti akar kayu yang mencengkeram batu, agar tidak terlepas dan terjatuh dari pijakan. Sebuah perjalanan dan percakapan yang panjang terdiri dari banyak tikungan, persimpangan, yang mirip legenda kerajaan, sesekali perlu diabadikan. Sebuah pertemuan yang hanya dikehendaki si pemilik waktu, seperti sungai Opak yang membawa daun ke muara. Sungai yang menerima jatuhnya pohon. Sebuah penerimaan atas cinta yang begitu dalam dengan perjalanan yang berliku-liku.

Saya membaca puisi-puisi di buku Silsilah Keramat ini dengan khusyuk dan sesekali berulang supaya sampai ke hati. Memang membaca puisi-puisi Umi Kulsum membuat saya serasa melakukan sebuah trip ke beberapa tujuan destinasi, melewati perlintasan ruang dan dimensi waktu, lorong cahaya dalam diri, sebuah tualang perawatan dan pulang menuju keheningan diri.

Bukan hanya sebuah landskap perjalanan batin, percakapan dengan dirinya sendiri dan semesta, dengan Sang Maha Pencipta, dengan simbol-simbol alamsebuah upaya yang menghadirkan kekuatan bernama cinta untuk hidup yang lebih bermakna dan berharga, dengan dan bersama puisi.

Puisi-puisi Umi Kulsum telah menghanyutkan saya pada arus deras pemikirannya. Sebuah perjalanan yang ajaib, penuh misteri dan keunikan tersendiri, serta memberikan peringatan-peringatan bagi diri sendiri. Bukan hanya sekedar membaca larik-larik yang bertenaga, namun saya juga banyak menemukan kekuatan mengolah emosi di sana, menjadikan kata-kata yang tidak hanya sekadar kata-kata.

Kekuatan cinta yang begitu besar hadir memberikan ruh pada puisi-puisi di kumpulan Silsilah Keramat. Tuhan semesta alam pemilik rahasia setiap silsilah kehidupan. Sebuah perjalanan manusia dimulai dari pecah ketuban dan terlahir dari rahim ibu untuk meniti kehidupan barumelayari hidup dan bermain dengan matahari.

Umi Kulsum telah berhasil menyajikan puisi-puisi yang tak hanya enak dinikmati, namun enak untuk berkontemplasi– proses penciptaan yang dahsyat, tak hanya permenungan dan perenungan, namun dengan kristalisasi pemikirannya membuat setiap sajak menjadi bernas. Bahkan puisi adalah dunia lain baginya, ruang yang begitu luas tak terbatas untuk menyelami perasaan-perasaan cinta seorang Umi Kulsum pada Sang Maha, pada semesta, dan pada makhluk-makhlukNya.

Saya menemukan kepiawaian dan esensi lain pada puisi-puisi Umi Kulsum semacam kesejukan embun, atau bahkan malah oase di gurun pasir. Puisi-puisinya rileks, namun bergejolak, meletup-letup, sendu sedan, mencair dan mengalir. Diksi-diksinya serupa alir air pada sungai. Ada riak gemercik yang bisa dinikmati dan menenangkan. Meski begitu, bagi pembaca di luar kebudayaan Jawa akan merasa kesulitan jika menemukan beberapa kosakata Jawa yang sengaja digunakan oleh penyair dalam kumpulan Silsilah Keramat ini.

Sebagai seorang yang mencintai puisi, sajian puisi-puisi dalam buku Silsilah Keramat yang menarik ini patut diberikan apresiasi dan tempat tersendiri di hati. Selamat — buku keren ini berhasil menjadi 5 terbaik buku pilihan HPI 2023. Yang fana itu usia, puisi abadi. Kata-kata bisa hilang tapi tulisan tidak. Penciptaan puisi di ruang sunyi, sepi di luarriuh di dalam. Pembacaan puisi di ruang riuh, gaduh di luarsunyi di dalam. Salam.

 

BIODATA

Emi Suy lahir 2 Februari 1979. Bukunya yang telah terbit antara lain Tirakat Padam Api (2011),  Alarm Sunyi (2017), dan Ayat Sunyi (2018).

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!