Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

Politik

Disebut Nyalon Bupati Tabanan, Panji Astika: Ini Soal Prinsip

Tabanan (BaliPolitika.Com) – Bila hanya menggunakan pertimbangan matematis dan ekonomis dalam menentukan seorang pemimpin, maka sampai kapanpun Indonesia, khususnya Bali tidak lepas dari belenggu penjajahan. Syukurnya, para pejuang kemerdekaan punya prinsip hidup, nasionalisme, dan semangat patriotisme melawan “musuh negara”. Meski hanya bermodal bambu runcing serta perlengkapan perang yang apa adanya, para pahlawan tak mudah “dibeli”.

Sayangnya, hampir 75 tahun merdeka, masyarakat Bali, khususnya Tabanan justru tampak mundur ke belakang. Masyarakat terlalu mudah “dibeli” dan seolah kehilangan prinsip-prinsip yang diwariskan para pahlawan. Tidak berlebihan bila disebut menjelma masyarakat pragmatis dan mengedepankan materi dibandingkan urusan kemanusiaan. Oleh banyak pihak, faktor inilah yang dinilai membuat demokrasi di “Bumi Lumbung Beras Tabanan” mundur selangkah.

“Kalau harus ada garansi menang baru mau berjuang ya sampai kapanpun Indonesia, khususnya Bali tidak akan merdeka,” ungkap tokoh Puri Anom Tabanan, Anak Agung Ngurah Panji Astika. Dia menyebut Ir. Soekarno tidak punya uang kala memerdekakan Indonesia. Ironisnya, kemungkinan sang proklamator memerdekakan Indonesia pun tipis, hanya 0,99 persen. Tapi Soekarno tetap berjuang dan bertaruh nyawa. “Mana lebih gampang memenangkan Pilkada Tabanan atau memerdekakan Indonesia? Tentu tidak perlu saya jawab. Masalahnya apakah Tabanan mau “merdeka” atau tidak?” tanyanya.

Bila diam dan memilih acuh tak acuh dengan situasi politik Tabanan saat ini, Panji Astika menyebut dirinya pantas disebut orang brengsek. Di Tabanan, ungkapnya sangat banyak orang pintar. Bahkan sesuai data, profesor, doktor paling banyak di Bali berasal dari Tabanan. Tapi apakah mereka mau jadi pionir perubahan menjadi pertanyaan yang sangat sulit dijawab. Apakah mereka siap menjadi pahlawan juga sangat sulit dijawab. Sebab pahlawan belum tentu adalah pemenang. Bahkan, nyaris seluruh pahlawan mati di medan perang.

“Harus dipahami bersama, yang dinilai bukanlah soal menang atau kalah. Tetapi semangat dan jiwa kepahlawanannya. I Gusti Ngurah Rai, Pahlawan Diponegoro, dan pahlawan lain kalah oleh penjajah. Bukan karena kalah lalu mereka dianggap pecundang. Justru karena kalah dalam keberanian itu mereka disebut pahlawan. Prinsip hidup para pendahulu kita ini yang patut diteladani,” tegasnya.

Dengan kata lain, terang Panji Astika, para cendekiawan Tabanan secara moral dituntut untuk meniru semangat juang dan prinsip para pahlawan. Bukan justru sebaliknya, menakut-nakuti mereka yang mempunyai prinsip demi melanggengkan kekuasaan segelintir oknum. Orang-orang Tabanan yang cerdas, mau tidak mau dan suka tidak suka harus berani menyatakan sikap. Pandemi korona memberi hikmah bahwa uang, posisi, dan sejenisnya tak ada nilainya di mata Yang Maha Kuasa. “Kalau masyarakat Tabanan ingin melakukan perubahan, maka sekaranglah saatnya,” tegas Panji Astika. *

Berita Terkait

Back to top button

Konten dilindungi!