Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

Politik

20 Tahun Dinilai “Salah Urus”, Panji Astika Terpanggil Benahi Tabanan

Tabanan (BaliPolitika.Com) – Lahir di keluarga yang menjadi embrio lahirnya PDI Perjuangan Tabanan, namun harus berhadapan dengan parpol berlambang moncong putih. Konsekuensi politis inilah yang harus dihadapi Anak Agung Ngurah Panji Astika. Tokoh Puri Anom, Tabanan itu berpeluang besar terjun pada perhelatan Pilkada 2020.

“Semua tentunya ingin Tabanan lebih baik. Setelah 20 tahun menjadi bahan “olok-olokan”, menjadi seolah-olah kabupaten yang “salah urus”. Banyak potensi yang seharusnya bisa dimaksimalkan di Tabanan, tetapi tidak dilakukan. Saya sebagai putra daerah merasa terpanggil; merasa punya kewajiban untuk hadir di tengah-tengah masyarakat,” ucap pendiri Yayasan Pelestari Budaya Tabanan itu.

Ditinjau dari aspek sejarah, tepatnya sebelum Bali menjadi bagian dari NKRI, leluhur Panji Astika sejatinya sudah lebih awal membangun Tabanan. Dalam dirinya mengalir darah raja Tabanan. Oleh karena itu, merupakan sebuah “keharusan” baginya melanjutkan perjuangan-perjuangan mulia tersebut.

“Dalam kondisi seperti ini, kalau saya lain-lain berarti saya penerus yang tidak bertanggung jawab. Diberikan warisan gunung, danau, dan tanah yang subur, tak elok kalau saya hanya memikirkan diri sendiri. Hanya mencari zona nyaman. Kalau mencari penghargaan dan kebahagiaan, saya merasa sudah lebih dari cukup,” tandasnya. “Kalau saya jadi Bupati Tabanan misalnya, salah sedikit pasti saya dicaci maki. Tapi pilihan seperti itulah yang saya cari. Posisi saya jauh lebih tidak enak sebenarnya jika menjadi pejabat publik. Tapi demi masyarakat Tabanan risiko itu akan saya hadapi,” sambung Ketua Asosiasi IPAL Indonesia (Ipalindo) itu.

Kenapa memilih jalur tidak enak padahal lebih nyaman jadi pengusaha? Pria yang fasih berbahasa Inggris itu menegaskan bahwa dirinya terpanggil dan ingin menunaikan kewajiban. Kalau semua orang memilih ketenangan hidup terangnya berarti akan banyak pendeta di tengah hutan. “Kalau semua orang memilih seperti itu, kalau orang baik semua pergi ke hutan ya para “begundal” saja yang akan berpolitik dan jadi penguasa. Demi hidup lebih baik, orang baik harus berpolitik,” tegasnya. *

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!